kan idea baru, padahal bila si tokoh cerita ditampilkan lain dari cerita-cerita lama itu (menurut alur cerita hal ini mungkin), pasti akan berakhir lebih baik dan cerita akan merupakan H.E. Menutup cerita, dengan si tokoh (utama) menjadi gila, penulis tidak membimbing ’generasi muda’. Ia masih silau oleh masa lampau, idea baru yang diharapkan tidak terjangkau.
Meskipun demikian roman kedua Ahmad Bakri ini masih tetap menawan bila dibaca, berkat dukungan gaya dan bahasa seperti telah saya kemukakan tadi ditambah dengan pengenalan cukup mendalam tentang lingkungan hidup. A.B. mengenal betul dan sangat cermat mengamati tata-cara hidup lingkungannya di mana ia tinggal. Ini jelas terlukis dalam tiap uraiannya dan meyakinkan.
Jakarta, 27 April 1982
Penyunting