174
062. Dikisahkan Den Lalana, kemudian berkata kepada ayahnya, memohon permisi, ingin melihat rupa burung, namun tidak mendapat izin, kata raja, kamu jangan tidak tahu hormat, bukan burung untukmu, bagian Brahma yang tampan.
063. Raden Lalana kaget, mendengar perkataan ayahnya yang sakit hati,mentang-mentang kepada yang jelek rupanya, 'estu' dibeda-beda, hati sedih sekali, daripada merasakan sengsara dan nelangsa, nekad mau membuang diri.
064. Tidak seperti kepada Raden Brahma, disayang dan dimanja oleh ayah, selamanya disanjung, Lalana menangis sedih, sakit hati menjadi manusia buruk rupa, oleh ayah dimarahi, oleh orang lain tiada dihargai.
065. Dengan lemas pergi ke halaman, menjerit memanggil-manggil dalam hati, sambil di tembok menelungkup, tidak biasanya kangjeng ayah, katanya bapak itu raja bijaksana, dikenal adil palamarta, kepada saya menyakiti.
066. Temyata dunia itu, tidak langgeng, kekuasaan berganti-ganti, tidak seperti yang Mahakuasa, duh Tuhan yang menguasai jagat raya, pasrah saya menyerahkan umur, hidup juga tiada gunanya, banyak sakit hatinya.
067. Ketika Lalana meminta tolong, kebetulan Den Brahma ke sana datang, mendatangi sambil berkata, kenapa kamu Lalana, pakai menangis di tembok sambil menelungkup, menjawab Raden Lalana, duh kakak saudara saya.
068. Saya sangat penasaran, ingin melihat burung bagus yang tadi, hanya ayah tidak setuju, katanya untuk kakak, takut lepas, pasti saya digantung, duh kakak tolonglah saya, mudah-mudahan diizinkan melihat.
069. Raden Brahma membentak, kurang ajar kamu berani-berani menyebut dan memanggil kakak, kamu bukan manusia, kamu
bukan saudara saya.
070. Semakin sedih Den Lalana, mendengar perkataan Den Brahma menghina sekali 'ngyung alum' kemudian pergi dari sana, sepanjang jalan tidak berhenti menangis, sedih akan nasib badan, menerima takdir yang kuasa.