195
sebentar juga datang, ke sini dengan kita bertemu, maha wiku melihat, kepada raden yang mau datang, mentang-mentang pendeta yang waspada, tahu pada apa yang akan jadi, saat itu juga raden sudah datang ke halaman.
260. Oleh pendeta sudah dijemput, duh Raden selamat datang, yang tampan cucu kakek, silakan segera duduk, Lalana menjawab penuh takdim, anak santri sibuk menggelar tikar untuk tamu, maha wiku berkata lagi, he anak-anak hantu itu ya ini.
261. Yang membuat kalian lari, anak-anak santri meringis, oleh pendeta disindiran, semua heran tidak disembunyikan, melihat Den Ksatria, sejajar duduk dengan wiku, segan pertanda hormat,
anak santri hatinya heran, sang pendeta kenapa duduk sejajar.
262. Dengan manusia begitu rupanya, kenapa sampai dihormat sekali, kata temannya sambil menepuk, itu sampai dihormat sekali, kata temannya sambil menepuk, itu hantu panas dingin, oleh karena itu oleh kiyai, sekarang juga disuruh ke mari, hormat kepada hantu meriang, takut berakibat iri dengki, sudah
pasti untuk menitipkan kita.
263. Santri-santri semua heran, tersenyum pendeta resi, berkata kepada Raden Lalana, asep itu yang dari mana, kamu punya tempat tinggal, dan siapa nama ibu, Den Lalana menjawab, terserah eyang yang serba tahu, baik buruk eyang yang lebih tahu.
264. Aduh benar kata pandita, Agan adalah cucu saya, ibu Agan Sarimulan, bapaknya bernama Narpati, di Negeri Cempala, yang memegang payung kebesaran, itu pun kalau tidak salah, yang ke sini datangnya, disuruh dari ilmu keberanian.
Pupuh Kinanti
265. Den pandita maha wiku, yang bertapa gunung Candani, itu adalah saudara kakek, kalau tidak salah pernah adik, Raden juga pernah kakek, kepada eyang kakek dari ibu.
266. Jangan sungkan-sungkan berguru, karena eyang juga wajib, nah