Kaca:Wawacan Jayalalana.djvu/218

Ieu kaca geus divalidasi
210
 
  1. Dengan saudara akan saling jaga, 'silih asih silih asah' saling menyayangi, akhirnya begitu buktinya, seperti yang salah pengertian, sampai berani mengusir 'suan' tidak ingat ke asalnya.
  2. Mengeleng-gelengkan kepala karena marah, rasanya seperti dihina oleh adik, akhirnya memanggil Den Arya, saat itu juga datang, menyembah pertanda hormat, menanti perintah raja.
  3. He patih cepat, buat surat segera, adik saya takut kebiasaan, dan menularkan penyakit dengki, berani mengusir anak saya, padahal anak sendiri.
  4. Kepadanya paman menurut, tidak dimengerti berani mengusir, padahal salah anaknya, kalau tidak sudi 'atuh miusir' tebu membawa kepangkalnya, kita nyari malah 'kumahi'.
  5. Mentang-mentang diri jadi raja, adatnya tidak adil, apa salahnyaa berdamai, sekarang begini saja patih, kita juga jangan kalah, lebih baik tentu mengajak perang.
  6. Den patih dari sana meninggalkan tempat, membuat surat sudah selesai, seorang mantri sudah pergi, utusan ke Tanjung Puri, dijalannya tidak diceritakan, dikisahkan sudah sampai raja.
  7. Surat diberikan ke hadapan raja, dibaca oleh raden patih isi suratnya, datang raja Tanjung Puri, setelah diterima silahkan bersiap-siap, mempersiapkan bekal untuk perang.
  8. Sekarang sudah ditunggu, 'bongan' kamu berani mengusir, sebab bukan mengusir anak, tapi berani menghina, mentang-mentang sudah jadi raja, sudah lupa pada asal usulnya.
  9. Bertingkah laku sombong, bangga karena diri sakti, kenapa kamu ingin 'mecak' mencoba-coba kalau berani, kalau tidak datang 'diserbu' negara dihancurkan.
  10. Ratu Tunjung Puri marah, kepada patih kemudian berkata, nah patih begini akhirnya, sekarang ditantang perang, bagaimana pikiran Patih, raden patih menyemh takdir.
  11. Untuk perang tidak akan mundur, silakan saja ikut, kaata raja